Jpnn24

Website Berita Online Paling Update

Entertainment

Grup The 1975 Punya Kesalahan Fatal Di Malaysia

Grup The 1975 Punya Kesalahan Fatal Di Malaysia
Grup The 1975 Punya Kesalahan Fatal Di Malaysia

Grup The 1975 Merupakan Sebuah Band Rock Alternatif Asal Manchester, Inggris, Yang Terbentuk Pada Tahun 2002 Dengan Total Empat Anggota. Anggota band ini terdiri dari Matthew Healy (vokalis dan gitaris), Adam Hann (gitaris), Ross MacDonald (bassis), dan George Daniel (drummer). Mereka terkenal dengan gaya musik eklektik dan lirik yang introspektif. Sering kali mencampurkan elemen-elemen dari berbagai genre seperti rock, pop, elektronik, dan R&B dalam karya mereka. Nama mereka tercipta dari buku puisi yang di temukan Matthew Healy  “1st June, The 1975” tertulis pada halaman terakhir.

 Debut album self-titled mereka, Grup The 1975 dirilis pada tahun 2013 dan langsung mendapatkan kesuksesan besar. Album hits seperti Sex, Chocolate dan Robbers yang membawa mereka ke puncak tangga lagu  dan mendapatkan perhatian internasional. Dengan melodi yang catchy dan produksi yang canggih, The 1975 berhasil menarik penggemar dari berbagai kalangan. Album ini juga menonjol karena eksplorasi tematik tentang cinta, kecemasan dan pencarian identitas. Kesuksesan mereka berlanjut dengan album kedua mereka yang telah di rilis pada tahun 2016. Album ini memperlihatkan evolusi musikal mereka dengan pendekatan yang lebih eksperimental, menggabungkan suara elektronik dan pop 80-an. Lagu-lagu seperti “The Sound,” “Love Me,” dan “Somebody Else” menjadi hits dan memperkuat reputasi mereka sebagai inovator di industri musik. Album ini juga mendapat pujian kritis dan memenangkan berbagai penghargaan, termasuk nominasi untuk Mercury Prize.

Grup The 1975 terus bereksperimen dengan suara dan tema dalam album-album berikutnya. Seperti “A Brief Inquiry into Online Relationships” (2018) dan “Notes on a Conditional Form” (2020). Mereka di kenal karena keberanian mereka dalam mengeksplorasi isu-isu sosial dan politik melalui musik mereka. Lirik-lirik mereka sering kali mencerminkan pandangan kritis terhadap dunia modern, media sosial dan kondisi mental manusia.

Grup The 1975 Menghadapi Persaingan Ketat

Pada masanya, Grup The 1975 Menghadapi Persaingan Ketat dari sejumlah band dan artis lain. Pesaing yang juga berada di puncak popularitas di genre rock alternatif dan indie pop. Salah satu pesaing utama mereka adalah Arctic Monkeys, sebuah band rock asal Inggris yang sudah lebih dulu meraih kesuksesan internasional. Dengan album-album seperti “AM” (2013), Arctic Monkeys mendapatkan pujian kritis dan kesuksesan komersial yang luar biasa. Gaya musik mereka yang unik, dengan lirik cerdas dan vokal khas Alex Turner. Hal ini membuat mereka menjadi salah satu band terkemuka di era yang sama dengan The 1975.

Selain Arctic Monkeys, ada juga Bastille, yang meraih popularitas besar dengan album debut mereka “Bad Blood” (2013). Lagu-lagu seperti “Pompeii” dan “Things We Lost in the Fire” mendapatkan banyak airplay dan mendominasi tangga lagu di banyak negara. Bastille dikenal dengan suara synth-pop yang anthemic dan lirik introspektif, yang menarik basis penggemar yang luas. Gaya musik yang menggabungkan elemen elektronik dan rock alternatif menjadi tantangan tersendiri bagi The 1975 dalam mempertahankan pangsa pasar mereka.

Foster the People, yang meraih ketenaran dengan single “Pumped Up Kicks” dari album debut mereka “Torches” (2011). Hal ini juga menjadi bagian dari lanskap musik yang sama dengan The 1975. Foster the People dikenal dengan suara indie pop mereka yang ceria namun memiliki lirik yang sering kali gelap dan provokatif. Kesuksesan mereka di awal 2010-an menambah daftar pesaing bagi The 1975 di ranah musik indie dan alternatif. Setiap band ini membawa keunikan dan kekuatan mereka sendiri, menciptakan persaingan yang dinamis dan mendorong The 1975.

Menciptakan Musik Yang Menyenangkan

Lagu-lagu The 1975 telah menciptakan penggemar mereka tersendiri berkat lirik yang emosional, produksi yang inovatif, dan gaya musik yang unik. Lagu-lagu seperti “Chocolate,” dari album debut mereka, telah mendapatkan penggemar setia karena melodi catchy dan liriknya yang menggugah semangat. “Chocolate” tidak hanya menjadi hit besar di tangga lagu, tetapi juga menjadi anthem bagi banyak penggemar yang menikmati gaya pop-rock energik dan fun dari The 1975. Lagu ini menunjukkan kemampuan mereka dalam Menciptakan Musik Yang Menyenangkan dan mudah diingat, sekaligus menampilkan kepribadian yang ceria dan penuh warna.

Di sisi lain, lagu seperti “Somebody Else” dari album kedua mereka, “I Like It When You Sleep, for You Are So Beautiful yet So Unaware of It,” menyentuh sisi yang lebih melankolis dan introspektif dari penggemar mereka. “Somebody Else” dikenal dengan produksi yang penuh nuansa dan lirik yang mendalam, mengungkapkan perasaan sakit hati dan kehilangan dengan cara yang sangat relatable. Penggemar yang menyukai kedalaman emosional dalam musik mereka sangat mengapresiasi lagu ini, yang sering kali menjadi favorit dalam daftar putar pribadi dan pertunjukan live.

Lagu-lagu dari album “A Brief Inquiry into Online Relationships” seperti “Love It If We Made It” dan “It’s Not Living (If It’s Not With You)” menunjukkan kepekaan The 1975 terhadap isu-isu sosial dan politik. Lagu-lagu ini mendapatkan perhatian karena liriknya yang tajam dan relevan dengan kondisi dunia saat ini. Banyak Penggemar merasa terhubung dengan tema-tema yang di angkat dalam lagu-lagu ini, menjadikannya lebih dari sekadar musik, tetapi juga pernyataan sosial yang kuat.

Grup The 1975 Mengalami Kontroversi Besar

Grup The 1975 Mengalami Kontroversi Besar ketika mereka di larang tampil di Malaysia pada tahun 2019. Larangan ini terjadi setelah band tersebut tampil di festival musik Good Vibes di Kuala Lumpur, di mana mereka mengeluarkan pernyataan politik dan sosial yang di anggap tidak sesuai dengan norma dan regulasi negara tersebut. Selama konser tersebut, vokalis Matthew Healy menyampaikan dukungan terhadap hak-hak LGBTQ+ dan mengkritik kebijakan pemerintah Malaysia, yang di kenal dengan undang-undang anti-LGBTQ+ yang ketat. Pernyataan tersebut memicu kemarahan di kalangan otoritas dan masyarakat setempat, yang menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hukum dan etika negara.

Sebagai akibat dari insiden tersebut, pemerintah Malaysia memutuskan untuk melarang The 1975 tampil di negara tersebut. Larangan ini mencakup semua pertunjukan dan kegiatan band di Malaysia untuk jangka waktu yang tidak di tentukan. Keputusan ini di ambil sebagai bentuk penegakan terhadap peraturan lokal dan untuk menjaga nilai-nilai budaya dan sosial yang di anggap penting oleh pihak berwenang. Larangan tersebut menimbulkan reaksi beragam di kalangan penggemar dan kritikus. Tindakan pelarangan ini juga memiliki dampak pada hubungan antara industri musik internasional dan Malaysia. Banyak artis dan band internasional yang, seperti The 1975, memiliki pengikut besar di Malaysia, harus mempertimbangkan dampak potensial dari tampil di negara tersebut.

Di sisi lain, The 1975 dan penggemar mereka di seluruh dunia terus mendukung hak-hak individu dan kebebasan berekspresi. Band ini tetap komitmen pada pesan-pesan sosial dan politik mereka, meskipun mereka harus menghadapi tantangan dan batasan di beberapa negara. Insiden di Malaysia hanya menambah lapisan kompleksitas dalam perjalanan musik Grup The 1975 .